KUNCI SUKSES BERGAUL,
Jalan Menuju Kehidupan yang Bahagia
Definisi Manusia
Manusia adalah makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Sebagai makhluk individu, ia memiliki karakter yang unik –berbeda satu dengan yang lain, bahkan kalaupun merupakan hasil cloning, dengan pikiran dan kehendaknya yang bebas. Dan sebagai makhluk sosial ia membutuhkan manusia lain, membutuhkan sebuah kelompok –dalam bentuknya yang minimal, yang mengakui keberadaannya, dan dalam bentuknya yang maksimal- kelompok di mana dia dapat bergantung kepadanya.
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri. Manusia membutuhkan kebersamaan dalam kehidupannya. Semua itu adalah dalam rangka saling memberi dan saling mengambil manfaat. Orang kaya tidak dapat hidup tanpa orang miskin yang menjadi pembantunya, pegawainya, sopirnya, dan seterusnya.
Pedoman Bergaul Dengan Sesama
Kunci yang pertama adalah menahan diri. Dalam bahasa syariah diistilahkan dengan kafful adza.
Maksudnya adalah tidak mengganggu orang lain. Apakah terkait dengan hartanya, jiwanya, ataupun kehormatannya. Siapa yang belum bisa menahan diri, sehingga orang lain terganggu olehnya, atau tersakiti, maka dia belum bisa dikatakan berakhlak baik.
Dahulu, di saat Haji Wada‘, ketika manusia dari segala penjuru dunia Islam berkumpul di Tanah Suci, Nabi shallallahu alaihi wa sallam memberikan peringatan keras tentang jiwa, harta, dan kehormatan seorang muslim yang tidak boleh diganggu. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda ketika itu:
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ بَيْنَكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا
”Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian itu suci dan terjaga. Seperti kesucian hari kalian ini di negeri ini dan di bulan ini." [H.R. AI Bukhari dan Muslim dari shahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhuma].
Siapa yang mengganggu saudara seiman dalam hartanya; apakah dengan mencuri, berkhianat atas amanah, atau menipunya dalam jual beli, dan sebagainya. Atau dalam bentuk fisik seperti memukul dan melukainya. Atau terkait dengan harga diri dan nama baiknya; dengan menggunjing, meludahi, mengadu, memfitnah, mencaci maki, maka orang tersebut belum memiliki akhlak yang baik.
Dosa dari perbuatan-perbuatan ini tergantung pula dengan siapa yang menjadi korban/sasaran. Semakin tinggi kedudukannya atau semakin besar hak orang tersebut, maka semakin besar pula dosa yang akan ditanggungnya.
Menyakiti orang tua tentu dosanya lebih besar daripada menyakiti selainnya. Mengganggu kerabat, dosanya lebih besar daripada mengganggu selainnya. Menggunjing seorang alim dari ulama atau pemimpin negerinya, tentu lebih besar dosanya daripada mempergunjingkan orang biasa. Berbuat jahat kepada tetangga tidak seperti kejahatan kepada orang yang jauh.
Tentang tetangga, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengingatkan dalam sebuah hadits:
وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ قِيلَ وَمَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الَّذِي لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَايِقَهُ
”Demi Allah, tidaklah beriman Demi Allah, tidaklah beriman. Demi Allah, tidaklah beriman; Mereka bertanya, "Siapakah gerangan wahai Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam“ Nabi bersabda, “Yaitu seseorang yang berakhlak jelek, sehingga tetangganya tidak tenang dan merasa aman dari gangguan-gangguannya." [H.R. Al Bukhari dari shahabat Abu Syuraikh radhiyallahu 'anhu]
Kunci yang kedua adalah menebar kebaikan, yang dalam bahasa syariat diistilahkan dengan Badzlun Nada.
Maksudnya adalah bersifat dermawan. Bersifat dermawan jangan dipahami secara sempit, hanya dalam bentuk membagi-bagi uang. Namun lebih luas dari itu. Seseorang mendermakan jiwanya, bisa tenaganya, kedudukan dan pamornya, mendermakan waktunya, mendermakan ilmunya di tengah umat melalui lisan atau penanya.
Termasuk dalam bab ini adalah memberikan maaf kepada orang yang berbuat kurang baik, menyakiti, atau mengambil hak, atau merendahkan nama baik kita walaupun kita bisa membalasnya. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
"Bertakwalah engkau kepada Allah di manapun berada. Dan tutuplah kejelekan dengan kebaikan. Perlakukanlah sesama manusia dengan akhlak yang baik." [H.R. At Tirmidzi dari shahabat Muadz bin Jabal dan Abu Dzar radhiyallahu 'anhuma, dihasankan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan At Tirmidzi].
Memberikan maaf termasuk memperlakukan sesama manusia dengan akhlak yang baik. Jika kita bergaul dengan manusia, tentu kita akan mendapati keadaan mereka berbeda-beda. Mau tidak mau pasti kita akan mendapati sesuatu yang tidak berkenan dari mereka selama kita bergaul.
Maka, sikap terbaik adalah memaklumi dan memberikan maaf. Dan hendaklah seorang punya keyakinan bahwa maaf yang ia berikan, akan membuahkan kebaikan. Permusuhan akan berubah menjadi persahabatan, saling mencintai, dan saling membela.
Allah subhanahu wata'ala berfirman:
وَلَا تَسْتَوِى ٱلْحَسَنَةُ وَلَا ٱلسَّيِّئَةُ ۚ ٱدْفَعْ بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ فَإِذَا ٱلَّذِى بَيْنَكَ وَبَيْنَهُۥ عَدَٰوَةٌ كَأَنَّهُۥ وَلِىٌّ حَمِيمٌ
”Dan tidaklah sama antara kebaikan dan kejelekan. Balaslah kejelekan dengan yang lebih baik. Jika kalian berbuat demikian, niscaya orang yang tadinya memusuhi, secara mendadak akan menjadi seorang teman yang mencintai.” [Q.S. Fushshilat:34].
Apakah anda bisa memaafkan setiap kesalahan orang yang membuat kalian sakit hati? Apa lagi jika teman anda tidak sengaja berbuat, tentu lebih pantas lagi untuk dimaafkan bukan?
Tapi, memang hati manusia berbeda-beda. Yang bisa berbuat demikian bukan sembarang orang. Hanya mereka yang memiliki sifat sabar dan memiliki jiwa besar. Sebagaimana kata Allah subhanahu wa ta'ala di ayat selanjutnya:
وَمَا يُلَقَّىٰهَآ إِلَّا ٱلَّذِينَ صَبَرُوا۟ وَمَا يُلَقَّىٰهَآ إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ
”Dan tidaklah akan bisa bersikap demikian melainkan orang-orang yang sabar, dan tidak akan bisa bersikap demikian melainkan dia yang memiliki jiwa besar." [Q.S. Fushshilat:35].
Namun ingatlah pula, pemberian maaf kepada seseorang juga terkadang perlu pertimbangan matang. Sebab tidak semua orang yang berbuat jelek atau kezaliman pantas diberi maaf. Hendaklah orang yang memaafkan kesalahan saudaranya memiliki harapan:
1. Mendapatkan ampunan dari Allah dan rahmatNya. Sebab dalam ayat disebutkan bahwa barang siapa yang memaafkan dan berbuat ishlah, maka ganjarannya ada pada sisi Allah.
2. Menjaga hubungan dan kecintaan dengan saudaranya yang telah berbuat kurang baik kepadanya. Kejelekan, bila dibalas dengan kejelekan, maka akan sulit menyelesaikan masalah. Sebaliknya, jika kejelekan dihadapi dengan kebaikan, maka orang yang berbuat jelek diharapkan akan sadar dan membalasnya dengan kebaikan pula.
Lain halnya jika orang yang berbuat jelek itu memang terkenal suka berbuat jahat. Maka, yang demikian tidak pantas dimaafkan. Sebab, kezaliman dikhawatirkan akan semakin menjadi-jadi.
Para ulama kita memberikan catatan bahwa kesalahan dan kezaliman bisa dimaafkan jika dengan memberikan maaf itu akan timbul dampak yang semakin baik. Itulah yang dinamakan ishlah. Dan hal ini pun juga telah disebutkan dalam ayat.
وَجَزَٰٓؤُا۟ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا ۖ فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِ
”Dan balasan dari kejelekan adalah sesuatu yang setimpal. Maka barang siapa yang memberikan maaf dan berbuat ishlah, maka pahalanya adalah tanggungan dari Allah.” [Q.S.Asy Syura':40].
Ishlah (bertindak dengan sesuatu yang memberikan dampak kebaikan) adalah wajib. Sedangkan memberikan maaf, sifatnya adalah perkara yang utama (sunnah). Maksudnya' jika dengan memberikan maaf justru menimbulkan dampak yang tidak baik, maka yang harus dijalankan adalah membalas. janganlah kita mengerjakan yang sunnah, sementara yang wajib malah tidak terwujud.
Kunci yang ketiga dalam bergaul dengan sesama adalah berusaha tampil menawan.
Menampakkan wajah yang berseri tatkala kita bertemu dengan saudara kita. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَحْقِرَنَّ مِنْ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ
”Janganlah kalian meremehkan perkara ma'ruf, walaupun hanya berupa bermanis muka ketika bertemu saudaramu.” [H.R. Muslim dari shahabat Abu Dzar radhiyallahu 'anhu].
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu bahwa pada suatu ketika beliau ditanya tentang al birr atau kebaikan. Maka jawaban beliau, al birr adalah wajah yang ramah dan lisan yang renyah.
Pembaca, jika kita bermuka manis ketika bertemu dengan sesama, maka hal itu akan memberikan kesan baik. Secara otomatis, kita telah menyusupkan rasa gembira dan senang pada qalbu teman kita. Akan lahir rasa cinta, jiwa pun akan terasa lapang dibuatnya.
Namun, jika muka kita cemberut dan berkerut ketika bertemu dengan saudara kita, tiada senyum yang mengembang, tiada pula kata-kata yang membahagiakan, maka biasanya manusia akan menjauh dari kita.
Kalau manusia sudah menjauh dari kita, kita sendiri yang rugi. Dunia terasa sempit, jiwa menjadi tertekan. Jika hal ini tak segera diubah, dikhawatirkan akan menyebabkan depresi.
Para dokter telah memberikan resep mujarab bagi yang tertimpa penyakit ini. Di antara anjuran mereka; tinggalkan hal-hal yang bisa membuat dirinya semakin tertekan. Berusahalah untuk memiliki hati yang lapang. Muka yang berseri akan mengurangi risiko tinggi dari penyakit ini. Dia akan menjadi orang yang dicintai di tengah-tengah manusia. Penyakitnya pun diharapkan akan sembuh. bi idznillahi ta'ala. Wallahualam
Posting Komentar
Posting Komentar