Laporkan Penyalahgunaan

Iklan

NamaLabel

+

NamaLabel

+

NamaLabel

+

Tags

NamaLabel

Slider

Headline

Jelajahi

  • Jelajahi

    Copyright © KAJIAN ASSALAFI
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Iklan

    @XMLThemes

    Terkini

    Iklan

    Populer Tahun ini

    Terpopuler

    Terpopuler

    Populer Minggu ini

    Populer Bulan ini

    ISLAMOFOBIA, PROBEMATIKA DALAM KEHIDUPAN BERNEGARA

    Posting Komentar

     


    Islamofobia adalah sebuah ketakutan, kebencian terhadap Islam atau Muslim secara umum, terutama bila dipandang dari sisi Islamisasi dan sumber terorisme.

    Di tengah panasnya kontroversi seputar pemindahan ibu kota negara (IKN), kisah radikalisme dan terorisme di dunia pesantren kembali disuguhkan ke publik. Beberapa pihak melihat narasi cepat hanya sebagai upaya kelompok kepentingan untuk menggagalkan fokus debat publik. Ada terlalu banyak kejanggalan dalam kebijakan IKN yang sulit dipahami, oleh karena itu banyak penolakan.


    Komjen Boy Rafli Amar, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), baru-baru ini terkenal membuat pernyataan kontroversial terkait keberadaan 198 pesantren radikal yang dilaporkan terkait dengan jaringan teroris. Hal itu disampaikannya dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI di Jakarta.

    Jaringan teroris yang dimaksudkan adalah Jamaah Ansharut Khilafah (JAK), ISIS, Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan Jemaah Islamiyah (JI). Gerakan-gerakan ini telah lama dikaitkan dengan stigma yang melekat pada kelompok radikal bahkan jaringan teroris internasional.

    Mengarah pada Islamofobia

    Sebelum membeberkan wacana pesantren radikal ini, BNPT membahas temuan 600 akun medsos yang mengarah ke radikal. Saat itu, BNPT langsung bekerja sama dengan Dirjen Aptika Kemenkominfo untuk melakukan tindakan pengamanan dengan menghapus akun-akun tersebut karena dianggap berbahaya.

    Dalam wawancara dengan media, Kiai Cholil selaku ketua MUI mengatakan, MUI sendiri tidak pernah diajak musyawarah terkait rencana tersebut. Memang, dia bertanya, mengapa hanya masjid yang menjadi sasaran? Menurutnya, potensi radikal ada di mana-mana, baik di institusi maupun di tempat ibadah lainnya. Debat jenis ini sebenarnya bukan hal baru. Sejak awal pemerintahan Jokowi, narasi melawan bahaya radikalisme dan terorisme rupanya sudah menjadi moto program kerja pemerintahannya. Bahkan kisah ini kemudian disamakan dengan proyek yang sangat masif untuk menyebarkan gagasan moderasi Islam, yang dilakukan dengan sumber daya yang sangat besar.

    Antara keduanya memang berkaitan. Bahkan, pengenalan moderasi Islam seakan membenarkan tudingan bahwa ajaran Islam kafah menjadi sumber aksi radikal dan aksi terorisme yang meresahkan di mata pemerintah. Pemerintah tampak gencar meyakinkan masyarakat bahwa radikalisme dan terorisme adalah masalah bangsa yang paling utama yang harus ditanggulangi bersama. Oleh karena itu, tidak semua masyarakat terhindar dari program moderasi Islam, mulai dari anak usia dini hingga kaum intelektual, mulai dari home schooling, hingga jenjang perguruan, bahkan pesantren.

    Salah kaprah

    Soalnya, publik juga punya penilaian sendiri terhadap persoalan yang dihadapi bangsa. Mereka melihat dengan jelas bahwa krisis multidimensi yang dihadapi bangsa ini, termasuk yang menghancurkan kehidupan mereka, tidak ada hubungannya dengan Islam yang masih dicap radikal dan bersalah atas teror.


    Padahal, publik lebih cenderung apriori terhadap semua isu terkait teror dan radikalisme yang terus didengungkan oleh aparat. Padahal, aliran soal ini dianggap hanya sebagai upaya membungkam sikap kritis masyarakat terhadap kezaliman yang dilakukan penguasa, atau upaya menyembunyikan riyah (administrasi) buruk penguasa kepada rakyatnya.


    Mereka sangat paham bahwa radikalisme dan terorisme itu ada. Namun, ketika mereka mengatakan bahwa keduanya adalah masalah utama bangsa, biasanya mereka tidak percaya. Apalagi jika keduanya terkait dengan Islam, yaitu melalui lembaga atau simbol yang mewakili Islam, seperti madrasah, pondok pesantren, kelompok agama Islam, masjid dan segala sesuatu yang berhubungan dengan pakaian atau budaya. Semua itu hanya dilihat sebagai argumentasi untuk membangun argumentasi tentang pentingnya “agenda perang” melawan Islam Kafah dan perjuangan untuk mempertahankannya.


    Bayangkan pandemi yang tak kunjung usai, perekonomian memburuk, utang negara terus meningkat, pungutan pajak menggila, tirani dan ketidakadilan terbongkar, semua diduga karena Islam?


    Juga, bagaimana mungkin krisis moral yang semakin parah, institusi keluarga yang melemah dan generasi yang hampir sesat semuanya karena Islam Kafah? Bukankah ajaran Islam dilaksanakan ketika semua ini terjadi? Padahal, sejak kemerdekaan, para pendiri sepakat bahwa mereka tidak mau hidup di bawah syariat Islam, sehingga hukuman mereka harus dicabut!


    Orang-orang tampaknya lebih sadar bahwa semua kekacauan ini disebabkan oleh tata kelola yang buruk, bukan Islam. Semakin jauh jarak antara manusia dan Islam, semakin besar pula berbagai persoalan yang melingkupi seluruh kehidupan manusia. Lalu bagaimana Islam Kafah bisa menjadi kambing hitam?



    Kita tidak boleh terpancing

    Saat ini, tampaknya ada strategi soft power yang dijalankan oleh RAND Corporation dan Nixon Center. Dua think tank Amerika meneliti orientasi politik Muslim dalam hubungannya dengan Barat, pemikiran mereka, hubungan mereka dengan non-Muslim dan pandangan mereka tentang hukum Islam dan Negara Islam (Khilafah).

    Mereka menyimpulkan bahwa terdapat empat kelompok umat Islam, yakni kelompok fundamentalis yang mengancam kepentingan Barat (kapitalisme global) dan kelompok lainnya, yakni kelompok tradisionalis, moderat, dan liberal sekuler, yang dipandang sebagai mitra potensial.

    Mereka kemudian menganjurkan penyitaan interpretasi Islam oleh kaum fundamentalis, meluncurkan gerakan untuk mengontekstualisasikan teks-teks Syariah dan merampingkan ide-ide Islam moderat. Mereka pun mulai membentuk jaringan muslim moderat dari berbagai kalangan, mulai dari akademisi, cendekiawan, universitas atau lembaga pendidikan, ormas, LSM, birokrat hingga media. Semua ini terkait dengan implementasi rekomendasi kebijakan bambu bersama. Tujuannya adalah untuk mengasingkan kaum fundamentalis yang menjadi ancaman dengan menutup akses dakwah mereka dan mendukung kelompok lain.


    Sayangnya, semua proyek yang direkomendasikan oleh kedua lembaga tersebut saat ini dilakukan dalam skala besar. Bahkan, situasi saat ini seolah menjadi panggung besar bagi kelompok-kelompok non-fundamentalis, khususnya jaringan Islam moderat, hingga kerap tampil arogan.


    Bahkan hampir semua cerita yang berkaitan dengan Islam, umat Islam, ormas Islam, pendidikan Islam dll ditambahkan secara moderat, seolah-olah Islam moderat adalah satu-satunya kunci permasalahan bangsa. 


    Kesadaran bahwa semua cerita yang disebar merupakan jebakan politik yang membunuh diri sendiri harus lebih dimunculkan. Sementara di sana, ada kekuatan oligarkis dan kapitalisme global yang akan mengambil kehormatan dan kekayaan mereka dengan cara apa pun. Salah satunya terlihat dalam proyek raksasa pemindahan ibu kota negara.


    Nyatanya, proyek ini adalah demonstrasi nyata bahaya kekuatan oligarki dalam peradaban global kapitalisme neoliberal. Umat ​​harus tetap waspada dan terus menyuarakan kebenaran untuk membeberkan kebusukannya di tengah hiruk pikuk serangan mental yang dapat melemahkan pertahanan dan mengarahkan visi konversi ke Islam. Wallahualam. 




    Related Posts

    There is no other posts in this category.

    Posting Komentar

    Terkini